Skip to main content
Categories
HeadlineHer StoryInspirasiKarirKehidupanKeluargaUneg-unegWoman Talks

Perempuan Tidak Ingin Disebut Lemah, tetapi Bersikap Lemah

Saya rasa, saya tidak melucu, tetapi kenapa ditertawakan? Saya akan melanjutkan studi S2 di salah satu universitas negeri di Jawa Tengah dengan mengambil jurusan Linguistik Penerjemahan. Dari tempat tinggal saya memang cukup jauh. Bukan masalah juga sebenarnya. Hal tersebut dikarenakan renjana saya akan berkembang di sana. Dalam mewujudkan suatu hal yang kita idamkan, hambatan adalah tantangan sekaligus penyemangat.

Saya ditertawakan, karena terus-terusan belajar. Dipikirnya buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi? Apalagi, sudah 20-an, jadi harus segera menikah. Kenapa pula kaum hawa selalu dipandang sebagai budak rumah tangga?

Pengalaman yang saya alami memang sudah basi, perihal perempuan tidak boleh punya ambisi, karena toh akan mengurusi suami dan anak yang menyita waktu. Namun, saya tergelitik pada sebuah pemikiran.

Perempuan tidak ingin disebut lemah, bukan? Katanya, mengandung dan melahirkan itu berat. Ya, saya setuju pada pernyataan tersebut. Namun, dengan menggantungkan hidup dalam sebuah pernikahan, tidakkah justru menunjukkan kalau memang demikian?

Para kaum hawa menjadi seolah-olah membebankan tanggung jawab untuk menghidupi mereka pada suami, tanpa memiliki bekal sebagai pemberdayaan diri sendiri. Siklusnya pun menjadi ‘aku mengurusi tetek bengek rumah tangga, imbalannya penuhi kebutuhanku.’

Tidak ada yang salah jika setelah melakukan kewajiban mendapatkan hak. Namun, dengan begitu peran seorang perempuan terasa dibatasi. Ibu rumah tangga memang kodrat mereka. Lantas, apakah tidak boleh berkecimpung di luar urusan itu?

Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, perempuan bukanlah budak rumah tangga saja. Mereka berhak punya ambisi untuk mewujudkan keinginan. Saya melanjutkan studi, karena bercita-cita menjadi dosen. Saya ingin mandiri menghidupi diri, tanpa berniat mangkir dari tanggung jawab sebagai seorang ibu.

Sebagai anak pertama, saya pun tidak ingin lepas tanggung jawab terhadap keluarga selepas menikah. Kasarnya, orangtua sudah membesarkan, lantas ditinggalkan begitu saja tanpa memberikan sumbangsih sama sekali? Untuk itu, seorang perempuan harus mandiri.

Kalau yang dipikirkan hanya menikah, itu sama saja mengkhianati kerja keras saya. Dua tahun saya lulus S1. Sebelumnya, saya sudah berusaha mencari beasiswa S2 ke luar negeri, tetapi belum rezeki. Saya pun sempat bekerja terlebih dahulu. Sekarang, ketika saya menemukan tempat paling tepat untuk mengembangkan renjana saya, saya tidak akan menyia-nyiakannya.

Masa bodoh saya ditertawakan. Saya anggap yang melakukannya adalah aneh. Tindakan positif kenapa harus dipandang lucu? Menikah bukan satu-satunya capaian dalam hidup manusia, melainkan cita-cita juga. Berkembang biak saja, hewan pun bisa. Lagipula, kalau memang ingin dipandang sebagai perempuan kuat sesungguhnya, ambillah peran ganda selain menjadi ibu rumah tangga. Jangan hanya bisa bergantung pada suami.

Pantaskan diri, maka pasangan paling sesuai akan didapatkan. Ingat perkataan itu, kan? Gegabah dalam menikah sama saja bunuh diri.

Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends