Skip to main content
Categories
Her Story

Status Janda Memaksaku Menjadi Seorang Ibu yang Perkasa

Tak ada seorang perempuan pun yang sukarela ingin hidup menjanda. Sebab menjadi janda di Indonesia itu tidak mudah, apalagi jika tinggal di kampung sepertiku. Janda masih kerap dipandang sebagai sebuah musibah sekaligus ancaman bagi sesama kaum hawa dan sebaliknya bagi kaum adam yang mata keranjang malah dianggap sebagai mangsa.

Namaku Rasbiah Usman. Seorang Sarjana Teknik dan Manajemen Industri asal Makassar. Meski memiliki gelar sarjana, sebagai orangtua tunggal aku terpaksa mengabaikan ijazahku karena tidak tega meninggalkan anak-anakku untuk bekerja jauh dari rumah. Untuk kehidupan sehari-hari aku mencari nafkah dengan membuka warung kelontong. Aku mensyukuri rejeki yang kuterima meski sedikit, karena yang terpenting bagiku di sela-sela kesibukan bekerja aku masih bisa mengasuh ketiga anakku, terutama anak keduaku yang membutuhkan perawatan khusus.

Hubungan rumah tanggaku yang sudah puluhan tahun kubina, kandas karena adanya orang ketiga. Awalnya suamiku memang sering selingkuh, tapi sebagaimana kebanyakan perempuan lainnya, aku selalu memaafkannya demi anak-anakku. Sampai kemudian kuketahui suamiku yang jarang pulang diam-diam sudah menikah siri dengan seorang janda di lain desa, aku tidak terima. Aku menyatakan ketidaksanggupanku untuk berbagi suami dengan perempuan lain. Dan demi mempertahankan istri mudanya, suamiku menceraikan istri sahnya yang sudah melahirkan lima anak untuknya.

Aku menjadi janda karena suamiku terpikat janda. Tapi mirisnya kemudian saat aku berstatus janda, aku malah kerap memanen fitnah. Dan fitnah terberat yang pernah kuterima adalah ketika aku dituduh ingin merebut suami temanku sendiri.

Aku sedih. Ingin rasanya mengatakan pada semua orang bahwa tidak semua janda itu berkelakuan buruk. Bisa jadi memang ada janda yang tidak kuat imannya kemudian mengambil suami orang dan tega menyakiti sesamanya, contohnya seperti perempuan yang sudah merebut suamiku. Tetapi ada juga janda yang kuat iman, yang insyaallah tidak akan pernah mengambil suami orang karena sudah tahu bagaimana rasa sakit kehilangan.

Oh ya, berbicara tentang kehilangan, sebelum kehilangan suami, aku sudah kehilangan anak pertamaku lebih dulu. Di tengah-tengah ketidak harmonisan hubunganku dan suami, badai yang tak pernah bisa kulupakan itu datang. Saat itu, pada bulan Juli tahun 2013, tepat jam 10 malam, kabar buruk tiba untukku. Putriku satu-satunya yang mulai menginjak usia remaja, mengalami kecelakaan dan meninggal seketika di tempat kejadian. Dunia serasa kiamat bagiku. Mungkin karena luka kehilangan yang parah dan masih berdarah itu, ketika setahun kemudian suamiku resmi menceraikanku, aku tak sempat meratapi diri. Bahkan ketika kemudian aku juga kehilangan anak bungsuku yang baru berusia 10 bulan, aku hanya bisa pasrah tanpa sedikit pun keinginan menggugat Tuhan.

Kalau aku bilang aku tidak pernah merasa lelah dan bersedih tentu saja itu bohong. Aku hanya manusia biasa yang terus berusaha bertahan hidup demi ketiga putraku, demi harta paling berharga dalam hidupku. Jika merasa lelah, aku hanya bisa menangis, menangis dan menangis dalam doa-doaku. Ada kalanya sempat melintas ingatan tentang almarhum putriku dan terbersit keinginan untuk menyusulnya. Tapi syukurnya setiap kali setan berbisik berisik, putraku yang paling kecil seperti sosok malaikat yang datang menghapus air mataku. Bocah berusia 5 tahun itu berkata, “jangan menangis Mama….”

Jika ada yang mengatakan aku adalah seorang ibu yang perkasa, status janda dan keadaanlah yang memaksaku agar menjadi kuat. Sebenarnya jauh di dalam diriku, aku ini rapuh. Dan aku berusaha menyembunyikan kerapuhanku dari semua orang karena tak ingin rasa belas kasihan orang-orang semakin melemahkanku.

Tak jarang ada orang yang bertanya bagaimana aku bisa bertahan dalam menjalani hidup yang penuh cobaan berat. Kepada mereka aku hanya bisa bilang kuncinya adalah terus mencoba bersabar dan tawakkal. Karena seberapa besarnya penderitaan tidak akan bisa mengalahkan kekuatan kesabaran.

Ujian kesabaranku yang paling besar adalah anak keduaku. Sejak usia 7 bulan dia sering step dan akhirnya membuat pertumbuhannya tidak sempurna. Dia tidak bisa duduk dan tidak bisa berbicara, hanya bisa menangis, tertawa dan tengkurap atau terlentang di lantai. Hinga sekarang umurnya 14 tahun lebih, kalau makan dia tidak bisa makan sendiri, mulutnya harus dibuka paksa dengan sendok agar makanan bisa masuk. Setiap kali waktu makan, karena sudah tak mungkin untuk menggendongnya lagi, aku dudukkan dia di kursi, kemudian aku suapi pelan-pelan sampai makanan berhasil ditelannya. Saking pelannya bisa sampai 1 jam baru selesai acara makannya.

Di mata orang mungkin hidupku penuh penderitaan tapi bagiku pribadi aku tahu masih banyak orang yang lebih menderita dibandingkan aku. Oleh karena itu di sela-sela kesibukan kerja dan mengasuh ketiga putraku, aku juga aktif dalam kegiatan sosial di daerahku. Aku menjadi salah satu kader posyandu yang membantu terlaksananya program masyarakat sehat.

Semua apa yang terjadi dalam kehidupanku saat ini adalah takdir Tuhan untukku. Sebagai manusia yang percaya akan kuasa-NYA, aku akan terus berusaha semaksimal mungkin menjalani hidup bersama putra-putraku. Memupuk harapan-harapanku hingga kelak bisa melihat semua anak-anakku berhasil dalam meraih cita-citanya.

*Ditulis berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber.




Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends